Sabtu, 20 Maret 2010

Curhat Membuat Bahagia




Mengungkapkan isi hati dan perasaan kepada teman alias curhat membuat seseorang menjadi lebih bahagia. Curhat juga merupakan cara gampang melepas stress.
Momen bertemu dan berkumpul bersama sahabat tercinta memang menyenangkan. Kita bisa saling bertukar cerita dan canda bersama. Tidak lupa, sesi curhat juga menjadi salah satu acara wajib. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan curhat tidak sekadar melepaskan perasaan dan uneg-uneg yang mengganjal, namun juga dapat membuat kita lebih bahagia.
Disbanding basa-basi yang merupakan komunikasi singkat, curhat yang mendalam akan membuat hidup penuh kegembiraan. Walaupun bicara basa-basi tetap memiliki makna social yang penting. “Basa-basi memang memiliki fungsi. Untuk kelancaran fungsi social, kita perlu berbicara singkat seperti itu”, kata peneliti utama yang juga asisten professor psikologi di Universitas Arizona, Tucson, Amerika Serikat, Matthias Mehl.
Namun, lanjut Mehl, mereka yang melakukan percakapan bermakna dan mendalam atau dia sebut berbicara secara ‘substansif’ akan lebih mudah menemukan kebahagiaan. “Apa yang sebenarnya menghubungkan Anda ke orang adalah substansif. Percakapan bermakna daripada berbicara dangkal. Tidak harus semua tentang filsafat atau akhirat, hanya harus memiliki substansi”.
Dalam penelitian ini, Mehl melengkapi pria dan wanita partisipan dari 79 perguruan tinggi dengan perangkat portable perekam yang diaktifkan secara elektronik (EAR). Pembicaraan mereka selama kegiatan rutin sehari-hari direkam. Setiap 12,5 menit, alat tersebut merekam 30 detik contoh suara.
Selama empat hari, total rekaman mencapai 23.000 buah atau 300 buah per partisipan. Mehl dan tim mendengarkan semua rekaman tersebut, lalu mengklasifikasikannya ke dalam kelompok percakapan dangkal atau percakapan substansif.
Contoh pembicaraan dangkal misalnya:” Apa yang kamu beli disana?Popcorn. enak banget!”. Sedangkan yang masuk percakapan substansif seperti :”Dia jatuh cinta sama ayah kamu? Jadi, apakah mereka bercerah segera setelah itu?”. Partisipan melakukan tes ini untuk mengevaluasi kepribadian dan kebahagiaan hidup mereka.
Hasilnya, mereka yang dilaporkan memiliki kebahagiaan hidup lebih tinggi, jelas Mehl, menghabiskan lebih sedikit waktu sendirian dan lebih banyak waktu berbicara dengan orang lain. Ketika dia membandingkan partisipan yang tidak bahagia, dia menemukan bahwa partisipan tidak bahagia dengan bahagia, dia juga menemukan bahwa partisipan yang bahagia menghabiskan hanya 25% waktu untuk sendirian dan sekitar 70% lebih banyak waktu berbicara dengan orang lain. Partisipan yang berbahagia juga diketahui melakukan dua kali lebih banyak percakapan secara substansif dibandingkan dengan basa-basi.
Dari sisi gender, meskipun perempuan dikenal paling mudah mendiskusikan sebuah perasaan dalam sebuah percakapan yang mendalam, namun Mehl mengatakan bahwa efek dari curhat ternyata lebih mengena pada diri pria. Namun, dia tidak menyelidiki mengapa hal itu bisa terjadi.
Studi ini akan diterbitkan dalam jurnal terbaru Psychological Science. Mehl menegaskan, penelitian ini tidak membuktikan sebab akibat. Karena itu, tidak diketahui apakah orang-orang yang terlihat menarik dan bahagia ini begitu saja mudah menceritakan sesuatu yang mendalam atau sesi curhat ini yang benar-benar membuat mereka langsung bahagia.
Akhirnya dia menyimpulkan bahwa “Dapat dipercaya kalau meningkatkan kebahagiaan dapat terwujud dengan melakukan percakapan yang substansif”.
Dua pakar psikologi lain yang memberikan komentar atas temuan ini mencoba membantu teka-teki kuno apa yang membuat bahagia di dunia ini. Namun, mereka setuju hal itu tidak membuktikan sebab-akibat. “Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa jika Anda pergi keluar dan mulai curhat Anda akan lebih bahagia,” terang James Maddux, professor psikologi di George Mason University, Fair fax, Va, Amerika Serikat.
Tetapi Maddux mengatakan hubungan antarteman curhat sangat berpengaruh. Misalnya saat pasutri mengalami kebosanan dalam rumah tangga mereka. “Percakapan sering berubah, mereka sering membicarakan topic yang dangkal. Dalam terapi pasangan, pasutri tidak bahagia ini sering diminta untuk mulai memiliki percakapan yang berarti lagi.
Dia mengaku tidak akan heran jika seseorang tidak bahagia dalam sebuah hubungan, maka salah satu sumber ketidakbahagiaan tersebut adalah kurangnya percakapan yang bermakna. “Pola yang digunakan dalam studi ini yaitu ‘menangkap sesuatu yang nyata’ dari pada mengandalkan laporan diri”.

Reference : Seputar Indonesia, 16 Maret 2010

0 komentar:

Posting Komentar