Sabtu, 12 Februari 2011

Si Lezat Cokelat


Mengaku penggemar berat cokelat ? hmm, teteapi tahukah kamu bagaimana cokelat dibuat hingga menjadi cemilan lezat? Benarkah cokelat baik untukmu ?

Si Pahit menjadi manis
Cokelat terbuat dari biji kakao yang berasal dari pohon kakao. Pohon kakao tidak bias tumbuh di sembarang tempat. Ia hanya tumbuh di sekitar garis khatulistiwa, kira-kira 20 derajat kea rah utara dah selatan, termasuk Indonesia.
Membuat cokelat tidak mudah, karena prosesnya cukup rumit. Pertama, buah kakao harus dikupas dan dikeluarkan biji-bijinya. Satu buah kakao bias terdiri atas 25-50 biji kakao.

Biji-biji kakao kemudian difermentasi, dengan cara di tutup dengan daun pisang. Biji ini kemudian dikeringkan selama beberapa hari dibawah sinar matahari. Biji-biji kakao yang kering itulah yang kemudian dijual para petani cokelat.
Rasa kakao akan muncul setelah biji dipanggang. Kulit biji kakao yang gosong dipisahkan, sementara daging biji digiling hingga kandungan mentega kakao alami di dalamnya mencair dan mengental.
Cairan kental yang disebut cokelat liquor ini kemudian dicetak hinga menjadi padat.

Meski sudah berbentuk cokelat padat, cokelat liquor belum bias dimakan karena rasanya pahit. Agar bias dimakan , cokelat liquor harus diproses. Cara pemrosesannya sangat mempengaruhi rasa cokelat nantinya.
Jika ingin membuat cokelat bubuk, kandungan mentega kakao pada cokelat dipisahkan. Sementara untuk membuat cokelat yang bias kamu makan justru mentega kakao harus dicampur bersama bubuk kakao, gula, dan penambah cita rasa lain, seperti susu dan vanili.

Campuran ini kemudian diproses hingga menjadi pasta halus. Proses selanjutnya adalah tempering yaitu dipanaskan, didinginkan, dan dipanaskan lagi. Sesudah itu, baru cokelat dicetak sesuai keinginan dan didinginkan. Cokelat lezat yang manis pun siap kamu makan.

Cokelat asli dan palsu
Itu tadi proses untuk membuat cokelat asli. Sayangnya, kebanyakan cokelat yang kita temui bukan cokelat asli. Kebanyakan cokelat itu hanya rasa cokelat atau cokelat palsu, atau cokelat compound.

Coba ingat-ingat waktu kamu makan cokelat. Apakah cokelat yang kamu makan itu menempel di gigi atau langit-langit mulu? Atau, waktu kamu mematahkan cokelat, apakah patahannya tidak rapid an mengeluarkan serbuk?
Jika ya, seperti yang diungkapkan oleh ahli cokelat dari L’atelier du Chocolat, Francis Mestre, cokelat yang kamu makan itu adalah cokelat palsu.
Sebaliknya, menurut Francis, cokelat asli tidak akan menempel, tetapi langsung lumer ketika masuk ke dalam mulut.
Begitu juga ketika dipatahkan, akan terbentuk patahan yang rapi, tanpa serbuk. Warnanya juga akan terlihat mengkilap, tidak seperti cokelat compound yang cenderung kusam.

Lalu, apakah sebenarnya cokelat compound? Untuk membuat cokelat yang bias dimakan, mentega kakao dicampur bubuk cokelat. Mentega kakao inilah yang membuat cokelat yang kita makan menjadi enak dan lembut.
“Mentega kakao harganya sangat mahal, “ kata Francis. Karena itu, banyak produsen cokelat yang mengganti mentega kakao dengan lemak nabati (misalnya minyak kelapa) agar harga cokelat bias lebih murah.
Selain itu, tambah pria berkebangsaan Perancis yang kini tinggal di Indonesia itu, cokelat asli yang mengandung mentega kakao biasanya tidak awet. Cokelat compound justru sebaliknya, bias bertahan lama di rak-rak pajang karena , menurut Francis, menggunakan pengawet.

Baik untuk kesehatan
Banyak pendapat bahwa cokelat itu baik bagi kesehatan kita. Menurut berbagai penelitian, cokelat memang baik untuk kesehatan jantung dan bias membantu kita merasa lebih rileks, nyaman, dan gembira.
Bahkan, jika batuk, kita bias makan cokelat karena kandungan bahan alami di dalamnya bias meredakan batuk.
Namun, menurut Francis, tidak semua cokelat member dampak positif. “Hanya cokelat asli yang baik untuk kesehatan,” katanya.
Karena kandungan lemak nabati serta pengawet di dalamnya, cokelat palsu sama sekali tidak baik untuk tuuh.
Sekarang kita jadi tahu mengapa kadang tenggorokan gatal dan batuk ketika makan cokelat. Cokelat bias mengurangi batuk bila kita makan itu cokelat asli.

Resensi : Kompas.


0 komentar:

Posting Komentar