Sabtu, 12 Februari 2011

Saatnya Mengatur Pola Makan


Perkembangan zaman yang menuntut serba cepat dan praktis turut memengaruhi pola makan masyarakat. Makanan instan buatan pabrik menjadi pilihan karena enak, murah, mudah didapat, serta mudah diolah. Padahal, kandungan bahan tambahan makanan dalam makanan instan itu memiliki risiko.
Konsumsi makanan instan menjadi pilihan di tengah kesibukan masyarakat modern serta ketidakmampuan dan kterbatasnya waktu untuk memasak makanan segar. Tren ini berlangsung secara global, bukan hanya di Indonesia.
Semula makanan instan disiapkan untuk para astronot yang akan melakukan perjalanan ke luar angkasa ataupun tentara yang sedang berperang. Agar makanan mudah diolah, tetapi bercita rasa enak dan tahan lama, ditambahkanlah sejumlah bahan tambahan makanan.

Dalam perkembangannya, industry pun memanfaatkan berbagai bahan tambahan makanan ini, baik pengawet, perisa, penguat rasa, pewarna, maupun berbagai jenis lainnya. Bahan tersebut membuat produksi makanan menjadi lebih murah, bias dimanfaatkan dalam waktu lama, serta sebarannya pun menjadi lebih luas.
Meski penggunaannya dalam jumlah tertentu dijamin keamanannya leh pemerintah dan kesepakatan internasional, konsumsi makanan instan yang mengandung bahan tambahan makanan tetap perlu diatur. Konsumsi makanan dengan gizi berimbang dan bervariasi dapat meminimalkan risiko penggunaan bahan tambahan makanan.
“Semestinya makanan instan jangan dijadikan menu harian. Sesekali mengonsumsi tentu diperbolehkan. Prinsipnya, kebutuhan nutrisi makro dan mikro harus terpenuhi, “ungkap Ahli Analisis dan Keamanan Pangan dari Sekolah Farmasi, ITB.

Mi instan
Salah satu makanan instan favorit masyarakat Indonesia adalah mi instan. Tak hanya dijadikan sebagai makanan pengganjal lapar sebelum menunggu waktu makan, mi juga banyak digunakan sebagai lauk-pauk. Bahkan, beberapa orang menjadikannya sebagai cemilan dengan cara mencampur bumbu dan mi tanpa dimasak.
Dokter spesialis penyakit dalam serta konsultan lambung dan pencernaan di Fakultas Kedokteran UI dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengatakan konsumsi makanan instan sebenarnya tak masalah jika dilakukan secara benar.
Bagi yang memiliki penyakit maag atau tekanan darah tinggi, mi instan tentu tidak dianjurkan karena kandungan ragi dalam mi atau unsure garam dalam bumbu penyedapnya. Bagi yang tak memiliki gangguan pencernaan pencernaan, konsumsi mi instan boleh dengan tetap memperhatikan keseimbangan pangan yang dikonsumsinya.

Mi instan adalah pangan alternative yang dapat digunakan sebagai pengganti nasi, bukan makanan utama. Pola konsumsi mi instan yang menjadikannya sebagai makanan selingan atau lauk akan membuat terjadinya penumpukan kalori dalam tubuh.
Ditambah factor stress yang mendorong makanan berlebih dan kurang gerak, konsumsi mi instan yang salah itu bias memicu kegemukan. Kegemukan inilah yang menjadi salah satu factor peningkatan risiko berbagai jenis penyakit kanker, bukan karena mi instannya.

Konsumsi mi instan juga tak menyebabkan usus buntu. Usus buntu disebabkan infeksi pada apendiks, bukan karena mi, biji cabai, atau biji jambu batu.
“Terlalu sederhana mengatakan mengonsumsi mi instan bias menyebabkan penyakit kanker dan usus buntu”

Bahan tambahan makanan
Penggunaan berbagai jenis bahan tambahan makanan pada berbagai jenis makanan instan oleh industry diakini Ahli Kimia Pangan dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Pangan, tidak akan melebihi batasan yang ditentukan pemerintah.
Selain dmei keamanan pangan, sudah memenuhi factor keamanan, pengguanaan bahan tambahan makanan secara berlebih justru akan merusak tampilan, cita rasa, dan tekstur dari makanan itu sendiri.
“Bahan tambahan makanan itu mahal. Penggunaan berlebih justru merugikan industry”

Dalam mi instan, jenis bahan tambahan makanan yang ada, antara lain, pemantap nabati, pengatur keasaman, pewarna, dan antioksidan. Sedangkan yang ada dalam bumbu umumnya berupa penguat rasa, perisa, dan berbagai jenis vitamin. Dalam kecap dan saus cabai umumnya terdapat pengawet dan pengental.
Bahan tambahan tersebut ada yang bersifat sintetik ataupun alami. Dalam batas normal, pengguanaan bahan makanan tidak akan memengaruhi kesehatan. Studi yang dilakukan tentang efek dari satu jenis zat tambahan makanan umumnya dilakukan dalam kadar jauh di atas normal.
Diakui Nuri, sejumlah bahan tambahan makanan memiliki risiko bagi mereka yang memiliki gangguan kesehatan dan hipersensitif. Batasan ini tidak berlaku untuk orang yang sehat. Khusus bagi penderita autis, disarankan untuk tidak mengonsumsi makanan pabrikan sama sekali.

Meski konsumsi makanan instan diperbolehkan, konsumsi makanan segar yang diolah sendiri tetap perlu diutamakan. Walau agak repot, cara ini lebih sehat karena memungkinkan pengaturan keseimbangan kandungan gizi makanan yang diperlukan tubuh.



resensi : Kompas

0 komentar:

Posting Komentar